Lanjutan dari Cerpen Aku dan Seseorang Dalam Coretan (Part 1)
Aku
tertegun dengan apa yang aku baca sendiri. aku hanya bisa melanjutkan membaca dengan menahan sesak yang datang entah
darimana.
Ini
adalah hari terakhir kita bertemu. Rasanya senang karena kita telah melalui
banyak hari menyenangkan bersama. Mendengarkan ceritamu adalah salah satunya. Aku
berterima kasih karena kau telah membiarkanku masuk jauh lebih dalam ke dalam
kehidupanmu. Namun, permasalahannya kini aku tak tahu bagaimana caranya
mengeluarkan diriku sendiri dari kehidupanmu.
« maukah
kau menungguku ? Jika kau telah memutuskan untuk melupakanku, maka
pergilah pada orang lain yang tidak akan membiarkanku mengambil dirimu. Namun,
jika kau memutuskan untuk menungguku, aku tak peduli dimana kau saat itu, aku
akan mengambil kembali apa yang pernah ada dalam hidupku, dan itu termasuk
dirimu »
Kata-kata yang membuatku galau
sampai saat ini. Aku ingin menunggumu, sungguh. Tapi kita terlalu berbeda. Aku
tak tahu dimana dirimu saat ini. Dan aku sendiri tak yakin kau tahu aku dimana.
Lagi pula, perasaan manusia dapat berubah, khan ? mungkin saat ini
dia sudah mempunyai seseorang penting dalam hidupnya. Mungkin saja kata-katanya
saat itu tak benar-benar serius. Aku
ingin sekali percaya itu. Tapi, meyakinkan diriku seperti itu saja aku tak
punya keahlian.
Aku pikir, terkadang cinta
buta juga bisa mematikan, membuat stress, darah tinggi, hipertensi dan
sebagainya. Andaikan waktu bisa kuputar lagi, aku tak akan mau mendengarkan
cerita-ceritamu yang dulu selalu kudengarkan. Kau tahu kenapa ? sebab kini
aku merindukan suaramu itu. Sangat.
Angin
kencang bertiup dari arah barat. Udara malam ini benar-benar begitu dingin. Malam?
Tunggu! Ternyata aku sudah terlalu lama tenggelam dalam lamunanku hingga tak
tersadar hari telah petang. Aku rapatkan lagi jaketku. Sepertinya aku terlalu
serius mengenangmu, sampai tak sadar tubuhku ini sudah membeku diterpa angin
malam yang semakin dingin.
Aku langkahkan kakiku kembali menuju apartemenku. Aku tidak mau
membeku dalam dinginnya malam Tokyo.
Setidaknya secangkir teh hangat akan mengembalikan kehangatan tubuhku kembali.
Pasti menyenangkan. Aku melirik kembali secarik kertas tua yang aku masukkan
kembali ke dalam saku jaketku. Terlalu lama mengingatmu membuatku lupa waktu
dan melupakan siapa diriku.
Apartemen yang aku tempati saat ini memang tak terlalu besar. Setidaknya
cukup untuk satu kasur, lemari, ruang tamu, kamar mandi, dapur dan sebuah
balkon yang menghadap ke arah terbitnya matahari. Perfect memang. Suasananya yang tenang dan pemandangannya yang
indah membuatku betah tinggal di Tokyo. Sekalipun aku tahu alasan utamaku pergi
ke tempat ini hanyalah untuk melarikan diri darimu. Untuk melupakanmu. Dan kini
aku termakan ucapanku sendiri saat membaca kembali catatan itu. Sebegitu
pentingkah dirimu hingga aku tak bisa melupakan dirimu sepenuhnya. Ternyata waktu
4 tahun tak cukup untuk melupakan seseorang yang pernah hadir dalam hidupmu.
Dering
lagu Girlfriendnya Avril Lavigne berdering kencang saat waktu menunjukkan pukul
19.15 . Nomor baru tertera di layer handphoneku. Aneh, siapa yang menelpon
malam-malam begini? Nomor baru lagi. Akhirnya dengan enggan aku mengangkat
telpon itu. Mungkin saja itu bossku yang menanyakan tugasku.
Kemudian kini aku menyesal telah
mengangkatnya. Aku membeku tak dapat bergerak. Segera kumatikan sambungan itu dan berlari kembali menuju
bangku taman kota
dengan tergesa-gesa. Itu tidak mungkin terjadi, khan? Jika hal itu benar-benar
terjadi, aku benar-benar tak tahu harus bagaimana.
Sebentar lagi. Sebentar lagi.
Kemudian aku melihat sosok itu. Badan tinggi yang tegap. Rambutnya berantakan
akibat angin yang terus menelusuri setiap helai rambutnya. Jaket birunya serasa
tak cukup menutupi tubuhnya yang sudah berbalut sweater putih. Aku melambatkan
langkahku dan akhirnya berhenti sekitar 15 meter jaraknya. Kau menoleh dan
menunjukkan senyum itu lagi padaku.
Benar-benar tak berubah. Wajah, senyum benar-benar tampak sama. Namun,
masih sama seperti dulukah perasaan itu padaku? Dan kini bertolak dari
senyumanmu, aku hanya bisa menitikkan air mata. Mengapa kau kembali dengan
senyum itu saat aku berusaha mengahapus bayanganmu? Sia-siakah usahaku 4 tahun
ini untuk melupakanmu?
“Sudah 4 tahun, bukan? Masihkah kau menunggu atau memutuskan
melupakanku?” tanyanya dengan senyum tipis. Sekalipun aku tahu ada sedikit
kekecewaan dan kesedihan dari raut wajahnya yang berusaha ia tutupi. Aku
semakin terisak.
“Kau membuatku menunggu terlalu lama, bodoh!”
Sekarang aku tahu, hanya dengan mendengarkan, kini aku merindukan
tatapanmu yang dulu. Aku merindukan suaramu yang selalu memberi nasehat
kepadaku. Aku rindu tawamu yang berusaha untuk membuatku tersenyum dengan
leluconmu. Aku merindukan seseorang yang mendengarkanku. Kau tahu? Seandainya
takdir bisa melampaui waktu…. Aku tak ingin membuat janji konyol untuk
melupakanmu. Dan berakhir merindukan suaramu.
Untuk seseorang
di Tahun Pertama.
Aku tahu kau
sudah berubah jauh lebih baik. Meski begitu, aku tetap berusaha membencimu.
Sebab, aku tahu. Ketika aku membiarkanmu masuk ke dalam kehidupanku. Aku hanya
akan berakhir sakit hati dan kembali mencoba melupakanmu.
-end-