Rabu, 06 November 2013

Cerpen - Aku dan Seseorang Dalam Coretan (Part 2)


Lanjutan dari Cerpen Aku dan Seseorang Dalam Coretan (Part 1)

             
Aku tertegun dengan apa yang aku baca sendiri. aku hanya bisa melanjutkan  membaca dengan menahan sesak yang datang entah darimana.

Ini adalah hari terakhir kita bertemu. Rasanya senang karena kita telah melalui banyak hari menyenangkan bersama. Mendengarkan ceritamu adalah salah satunya. Aku berterima kasih karena kau telah membiarkanku masuk jauh lebih dalam ke dalam kehidupanmu. Namun, permasalahannya kini aku tak tahu bagaimana caranya mengeluarkan diriku sendiri dari kehidupanmu.
« maukah kau menungguku ? Jika kau telah memutuskan untuk melupakanku, maka pergilah pada orang lain yang tidak akan membiarkanku mengambil dirimu. Namun, jika kau memutuskan untuk menungguku, aku tak peduli dimana kau saat itu, aku akan mengambil kembali apa yang pernah ada dalam hidupku, dan itu termasuk dirimu »

Kata-kata yang membuatku galau sampai saat ini. Aku ingin menunggumu, sungguh. Tapi kita terlalu berbeda. Aku tak tahu dimana dirimu saat ini. Dan aku sendiri tak yakin kau tahu aku dimana. Lagi pula, perasaan manusia dapat berubah, khan ? mungkin saat ini dia sudah mempunyai seseorang penting dalam hidupnya. Mungkin saja kata-katanya saat itu tak benar-benar serius. Aku ingin sekali percaya itu. Tapi, meyakinkan diriku seperti itu saja aku tak punya keahlian.
Aku pikir, terkadang cinta buta juga bisa mematikan, membuat stress, darah tinggi, hipertensi dan sebagainya. Andaikan waktu bisa kuputar lagi, aku tak akan mau mendengarkan cerita-ceritamu yang dulu selalu kudengarkan. Kau tahu kenapa ? sebab kini aku merindukan suaramu itu. Sangat.

            Angin kencang bertiup dari arah barat. Udara malam ini benar-benar begitu dingin. Malam? Tunggu! Ternyata aku sudah terlalu lama tenggelam dalam lamunanku hingga tak tersadar hari telah petang. Aku rapatkan lagi jaketku. Sepertinya aku terlalu serius mengenangmu, sampai tak sadar tubuhku ini sudah membeku diterpa angin malam yang semakin dingin.
            Aku langkahkan kakiku kembali menuju apartemenku. Aku tidak mau membeku dalam dinginnya malam Tokyo. Setidaknya secangkir teh hangat akan mengembalikan kehangatan tubuhku kembali. Pasti menyenangkan. Aku melirik kembali secarik kertas tua yang aku masukkan kembali ke dalam saku jaketku. Terlalu lama mengingatmu membuatku lupa waktu dan melupakan siapa diriku.
            Apartemen yang aku tempati saat ini memang tak terlalu besar. Setidaknya cukup untuk satu kasur, lemari, ruang tamu, kamar mandi, dapur dan sebuah balkon yang menghadap ke arah terbitnya matahari. Perfect memang.  Suasananya yang tenang dan pemandangannya yang indah membuatku betah tinggal di Tokyo. Sekalipun aku tahu alasan utamaku pergi ke tempat ini hanyalah untuk melarikan diri darimu. Untuk melupakanmu. Dan kini aku termakan ucapanku sendiri saat membaca kembali catatan itu. Sebegitu pentingkah dirimu hingga aku tak bisa melupakan dirimu sepenuhnya. Ternyata waktu 4 tahun tak cukup untuk melupakan seseorang yang pernah hadir dalam hidupmu.
            Dering lagu Girlfriendnya Avril Lavigne berdering kencang saat waktu menunjukkan pukul 19.15 . Nomor baru tertera di layer handphoneku. Aneh, siapa yang menelpon malam-malam begini? Nomor baru lagi. Akhirnya dengan enggan aku mengangkat telpon itu. Mungkin saja itu bossku yang menanyakan tugasku.
            Kemudian kini aku menyesal telah mengangkatnya. Aku membeku tak dapat bergerak. Segera kumatikan  sambungan itu dan berlari kembali menuju bangku taman kota dengan tergesa-gesa. Itu tidak mungkin terjadi, khan? Jika hal itu benar-benar terjadi, aku benar-benar tak tahu harus bagaimana.
            Sebentar lagi. Sebentar lagi. Kemudian aku melihat sosok itu. Badan tinggi yang tegap. Rambutnya berantakan akibat angin yang terus menelusuri setiap helai rambutnya. Jaket birunya serasa tak cukup menutupi tubuhnya yang sudah berbalut sweater putih. Aku melambatkan langkahku dan akhirnya berhenti sekitar 15 meter jaraknya. Kau menoleh dan menunjukkan senyum itu lagi padaku.
Benar-benar tak berubah. Wajah, senyum benar-benar tampak sama. Namun, masih sama seperti dulukah perasaan itu padaku? Dan kini bertolak dari senyumanmu, aku hanya bisa menitikkan air mata. Mengapa kau kembali dengan senyum itu saat aku berusaha mengahapus bayanganmu? Sia-siakah usahaku 4 tahun ini untuk melupakanmu?
“Sudah 4 tahun, bukan? Masihkah kau menunggu atau memutuskan melupakanku?” tanyanya dengan senyum tipis. Sekalipun aku tahu ada sedikit kekecewaan dan kesedihan dari raut wajahnya yang berusaha ia tutupi. Aku semakin terisak.
“Kau membuatku menunggu terlalu lama, bodoh!”
Sekarang aku tahu, hanya dengan mendengarkan, kini aku merindukan tatapanmu yang dulu. Aku merindukan suaramu yang selalu memberi nasehat kepadaku. Aku rindu tawamu yang berusaha untuk membuatku tersenyum dengan leluconmu. Aku merindukan seseorang yang mendengarkanku. Kau tahu? Seandainya takdir bisa melampaui waktu…. Aku tak ingin membuat janji konyol untuk melupakanmu. Dan berakhir merindukan suaramu.

Untuk seseorang di Tahun Pertama.
Aku tahu kau sudah berubah jauh lebih baik. Meski begitu, aku tetap berusaha membencimu. Sebab, aku tahu. Ketika aku membiarkanmu masuk ke dalam kehidupanku. Aku hanya akan berakhir sakit hati dan kembali mencoba melupakanmu.

-end-

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More